Ratusan Anak Duafa Periksa Gigi Di Sekolah Calon Penduduk Dunia

Screenshot_20151208_082207

Jakarta – Mahmud (12), anak Panti Asuhan Akhiuzaman Rawa Lumbu, Bekasi terlihat sangat gembira bias bermain bola bersamaanak-anak bule dari Jakarta Intercultural School (JIS). Bersama teman-teman lainnya, Mahmud datang ke JIS untuk memeriksakan giginya apakah sehat atau ada yang harus ditambal atau dicabut.

“Alhamdulillah, gigi saya sehat jadi tak takut datang karena tidak akan dicabut,” ujar Mahmud yang menambahkan kata “Fals” di belakang namanya. Mungkin terinspirasi dari nama penyanyi balada pujaannya “Iwan Fals”, hingga ia selau menyertakan nama artis legendaris itu.

Mahmud Fals adalah anak panti asuhan asal Flores, sebuah propinsi yang hampir berada di ujung Indonesia, Nusa Tenggara Timur. Suaranya yang keras khas anak Flores, tak menghilangkan kesannya bertingkah layaknya anak-anak.

Hampir 2 minggu sekali ia datang ke JIS bersama teman-teman panti asuhan Akhiruzaman, Bekasi memenuhi undangan dari sekolah untuk belajar bersama. Kesempatan kali ini, ia datang untuk memeriksakan kesehatan giginya. Selain Mahmud, juga ada Arjuna, Aditya, Amel, Nurmin, Nova dan ratusan anak lainnya mulai usia balita hingga SMA.

Uniknya, sejak pendaftaran hingga mengantarkan mereka untuk diperiksa oleh dokter gigi, anak-anak itu didampingi bahkan dibantu secara langsung dengan tangan anak-anak JIS yang terdengar fasih berbahasa Indonesia. Dan tak ada kecanggungan untuk berinteraksi antara anak-anak bule itu dengan anak-anak kampung tersebut.

Mulai dari pendaftaran, memeriksakan suhu tubuh dengan termometer canggih, menimbang berat dan mengukur tinggi badan, anak-anak JIS baik yang berasal dari Eropa maupun keturunan Tiongkok melakukannya seperti tenaga kesehatan yang profesional. Mungkin karena mereka bukan dokter, sehingga saat hal teknis kedokteran mereka hanya dizinkan untuk memperhatikan.

Selain dari panti asuhannya, banyak lagi bersamanya ratusan anak dari Kampung Pemulung yang merupakan binaan dari XS Project di Cirendeu, Banten yang melakukan pemeriksaan gigi secara gratis. Kata “Gratis” itulah yang menambah semangat mereka untuk mau diperiksakan kesehatannya di JIS itu, pasalnya jangankan periksa gigi dan kesehatan secara rutin, sedangkan akses jaminan kesehatan saja mereka tak punya.

Sebagai anak-anak dari kaum pemulung dan yatim piatu serta duafa di Jakarta, tak pernah terbetik dipikiran mereka untuk memeriksa kesehatan secara rutin, hingga anak-anak JIS berinisiasi untuk menjadikan mereka sebagai mitra berbagi dalam ilmu dan keberuntungan.

“Terus terang, kegiatan dari JIS ini sangat membantu sekali buat kami dan seluruh anak-anak ini sebab mereka memang orang-orang yang justeru butuh jaminan kesehatan tapi tak punya jaminan kesehatan karena beberapa syarat administarsi yang tak bisa mereka lengkapi, termasuk salah satunya tidak memiliki identitas diri,” ungkap Darni, koordinator dari XS Project.

Karena itu menurut Darni, setelah mereka berhubungan cukup lama antara JIS dengan komunitas anak pemulung dan panti asuhan di Bekasi itu, siswa JIS menyadari bahwa masih banyak dari mereka yang butuh uluran tangan, khususnya soal jaminan kesehatan. “Jadi teman-teman di komunitas yang tak punya kases ke dokter, ya bisa kita periksakan di sini,” kata Darni.

Edukasi kesehatan gigi jadi tujuan utama

Meski program periksa gigi dibuat dengan penuh canda tawa, nyatanya sifat takut saat bertemu dokter gigi bagi anak-anak itu tetap saja ada. “Ya mereka juga masih takut, jangan-jangan kalau datang nanti giginya akan dicabut. Padahal kan tidak begitu, kalau gigi mereka sehat ya tidak diapa-apakan,” ujar Victor Palepessydari Yayasan Obor Indonesia (OBI) yang mengkoordinir para dokter gigi itu.

Menurut Victor, tujuan utama dari pemeriksaan rutin terhadap kesehatan gigi anak-anak itu sebenarnya lebih ditekankan pada edukasi pentingnya menjaga kesehatan gigi bagi diri anak itu sendiri.

“Kita mendampingi dan memberikan pemahaman pada anak-anak itu, bahwa gigi mereka harus dijaga agar tidak rusak dan bolong. Sebab kalau sudah rusak atau bolong, kan mereka sendir yang akan rugi tidak bias berobat,” ucap Victor.

Selain itu, para dokter juga berusaha menanamkan cara menjaga kesehatan mereka agar sesuai dengan aturan, seperti keharusan menyikat gigi dua kali sehari. Tidak hanya itu sebenarnya ada kebiasaan keliru di masyarakat menurut Victor, yakni kalau bangun tidur itu mandi lalu gosok gigi dan makan sarapan.

“Padahal, kalau gosok gigi itu tujuannya untuk membuang sisa makanan di gigi dan mulut. Jadi keliru kalau prakteknya seperti tadi. Yang benar bangun tidur, mandi, makan sarapan lalu menggosok gigi sebelum keluar rumah. Selain itu, kita juga berusaha menyadarkan bahwa mulut adalah pintu gerbang utama masuknya kuman ke tubuh. Jadi kalau ada sisa makanan lama dan berkuman, lalu masuk ke tubuh pasti akan membuat mereka jadi sakit,” tegas Victor.

Kerjasama antara JIS dengan Yayasan OBI ini menjadi yang pertama namun Victor berharap, berangkat dari sini kerjasama antara Yayasan OBI dengan JIS itu akan semakin banyak anak binaan JIS yang bias mendapat akses perawatan kesehatan gigi.

Membangun karakter “Global Citizen”

Apa yang dilakukan oleh JIS salah satunya melalui kegiatan Dental Screening Day, nyatanya bukan kegiatan sosial biasa. Hal itu adalah bagian dari pembangunan karakter agar siswa-siswi JIS siap menjadi penduduk dunia atau Global Citizen.

“Untuk itu, mereka harus dipersiapkan dan dibentuk agar memiliki pola pikir, kepribadian dan mindset set sebagai penduduk dunia yang bisa diterima dan beradaptasi dimanapun mereka berada. Salah satunya, siswa itu harus memiliki kepedulian dan sensitifitas terhadap isu di lingkungn mereka berada, baik itu lingkungan, kesehatan, kemanusiaan maupun pendidikan,” ujar Anne Andrews.

Karena itu, kegiatan-kegiatan itu seringkali justeru diinisiasi sendiri oleh para siswa JIS yang menjadi relawan atau Volunteer itu sendiri dalam setiap kegiatan. Di setiap aktifitas itu, mereka belajar banyak mengenai soal nilai kehidupan, kemanusiaan, kesehatan, lingkungan hidup dan sebagainya.

“Ini adalah salah satu cara agar mereka sensitif terhadap isu yang ada, selain itu karena siswa JIS juga berasal dari kalangan keluarga dengan ekonomi berkecukupan, mereka bisa lihat langsung ada orang lain yang tak seberuntung mereka. Maka dibiasakan kepada setiap siswa JIS agar bisa memberikan dampak positif bagi lingkungan itu,” kata Anne.

Hebatnya lagi, pembangunan karakter ini ternyata tak dilakukan hanya di Jakarta saja. Siswa-siswa JIS sudah menjelajah kebeberapa negara di Asia untuk melakukan kegiatan social serupa. “Itulah kepribadian yang hendak dibangun oleh JIS pada para siswa, menjadi penduduk dunia yang lebih “Aware” terhadap lingkungan tempat dia tinggal,” pungkasnya.***IS

 

 

Tinggalkan komentar